Senin, 01 Februari 2010

OPT jagung


274 Jagung: Teknik Produksi dan Pengembangan
Pengelolaan Hama Prapanen Jagung
M.S. Pabbage, A.M. Adnan, dan N. Nonci
Balai Penelitian Tanaman Serealia, Maros

(Ostrinia furnacalis, Pyralidae: Lepidoptera)
Bioekologi
O. furnacalis merupakan hama utama jagung di Asia. Serangga ini mempunyai
lebih dari satu generasi dalam setahun karena didukung oleh curah
hujan yang memberikan pengaruh penting pada aktivitas ngengat dan
oviposisinya (Nafus and Schreiner 1987).
Di lapang, imago mulai meletakkan telur pada tanaman yang berumur
dua minggu. Puncak peletakan telur terjadi pada stadia pembentukan bunga
276 Jagung: Teknik Produksi dan Pengembangan
jantan sampai keluarnya bunga jantan. Serangga betina lebih suka
meletakkan telur di bawah permukaan daun, terutama pada daun ke-5
sampai daun ke-9 (Legacion and Gabriel 1988). Jumlah telur yang diletakkan
tiap kelompok beragam (Gambar 1), berkisar antara 30-50 butir atau bahkan
lebih dari 90 butir (Kalshoven 1981). Seekor ngengat betina mampu
meletakkan telur 300-500 butir. Lama hidup serangga dewasa adalah 7-11
hari (Lee et al. 1980). Di laboratorium, jumlah telur per kelompok beragam
antara 1-200 butir (Ruhendi et al. 1985). Stadium telur 3-4 hari (Lee et al.
1980).
Instar I sesaat setelah menetas dari telur langsung menyebar ke bagian
tanaman lain. Pada fase pembentukan bunga jantan, larva instar I-III akan
memakan daun muda yang masih menggulung dan pada permukaan daun
yang terlindung dari daun yang telah membuka. Pada fase lanjut tanaman
jagung, sekitar 67-100% dari larva instar I dan II berada pada bunga jantan
(Nafus and Schreiner 1987). Larva instar III sebagian besar berada pada
bunga jantan, meskipun sudah ada pada bagian tanaman lain. Instar IV-VI
mulai melubangi bagian di atas buku dan masuk ke dalam batang dan
membor ke bagian atas. Dalam satu lubang dapat ditemukan lebih dari satu
larva. Gambar 2 memperlihatkan larva instar I-VI. Pada tongkol jagung juga
sering ditemukan larva instar I-III dan makan pada ujung tongkol dan jambul.
Instar berikutnya makan pada tongkol dan biji. Stadium larva adalah 17-30
hari.
Gambar 1. Koloni telur penggerek batang jagung.
Pabbage et al.: Pengelolaan Hama Prapanen Jagung 277
Larva yang akan membentuk pupa membuat lubang keluar yang ditutup
dengan lapisan epeidermis. Stadium pupa adalah 6-9 hari (Gambar 3).
Serangga dewasa yang keluar dari pupa pada malam hari pukul 20.00-
22.00 akan langsung kawin dan meletakkan telur pada malam yang sama
hingga satu minggu sesudahnya.
O. furnacalis ditemukan di Asia Tenggara, Asia Tengah, Asia Timur, dan
Australia (Mutuura and Munroe 1970). Di Indonesia, serangga ini menyebar
luas di Papua, Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Sumatera (Waterhouse 1993).
Spesies ini selain menyerang jagung dan dapat pula menyerang tanaman
lain seperti sorgum, kedelai, mangga, okra, tomat, tembakau, lada, tebu,
kapas, jahe, dan rumput-rumputan (PGCPP 1987).
Gambar 2. Instar I (a) yang baru menetas, Instar II (b), Instar III (c), Instar IV (d), Instar V (e),
dan Instar VI (f) dari O. furnacalis.
(d) (e) (f)
(a) (b) (c)
278 Jagung: Teknik Produksi dan Pengembangan
Gejala Serangan
Larva O. furnacalis menyerang semua bagian tanaman jagung. Kehilangan
hasil terbesar dapat terjadi saat serangan tinggi pada fase reproduktif
(Kalshoven 1981). Serangga ini mempunyai ciri khas serangan pada setiap
bagian tanaman jagung, yaitu berupa lubang kecil pada daun, lubang
gorokan pada batang, bunga jantan, atau pangkal tongkol, batang dan tassel
yang mudah patah, tumpukan tassel yang rusak, dan rusaknya tongkol
jagung (Gambar 4).
Pengendalian
Hayati
Pemanfaatan musuh alami seperti parasitoid, cendawan, predator, bakteri,
dan nematoda mampu menekan serangan (Gambar 5). Parasitoid telur
yang dapat menekan infestasi serangga ini adalah Trichogramma spp. T.
evanescens efektif memarasit telur O. furnacalis di laboratorium dengan
persentase parasitasi mencapai 97,68% (Pabbage et al. 1999). Nonci et. al.
(1998) melaporkan bahwa parasitasi parasitoid telur penggerek batang di
daerah-daerah sentra produksi jagung di Sulawesi Selatan berkisar antara
71,56-89,80%.
Cendawan yang berperan sebagai entomopatogenik adalah Beauveria
bassiana dan Metarhizium anisopliae. Pada pengujian laboratorium,
mortalitas larva instar II dari O. furnacalis yang diinokulasi cendawan B.
bassiana dengan konsentrasi 5 x 107 konidia/ml mencapai 62,5%, instar III
55%, instar IV 57%, dan instar V 55%. Hal ini menunjukkan bahwa cendawan
ini cukup efektif mengendalikan penggerek batang jagung. Pengujian di
(a) (b)
Gambar 3. Pupa (a) dan imago O. furnacalis (b).
Pabbage et al.: Pengelolaan Hama Prapanen Jagung 279
Gambar 4. Gejala serangan penggerek batang jagung (O. furnacalis).
Gambar 5. Kelompok telur O. furnacalis yang sudah terparasit (a), kelompok telur yang
belum terparasit (b), dan Trichogramma spp. yang sedang memarasit telur (c).
(a) (b) (c)
280 Jagung: Teknik Produksi dan Pengembangan
lapang menunjukkan bahwa cendawan M. anisopliae mampu mengendalikan
penggerek batang yang terindikasi dari rendahnya kerusakan daun
(13,3%) dan bunga jantan (5,3%) dibanding kontrol dengan kerusakan daun
dan bunga jantan masing-masing mencapai 24,3% dan 27,0% pada 6 MST
(Baco dan Yasin 2001).
Predator yang biasa memangsa hama penggerek batang jagung adalah
Micraspis sp. dan Cecopet (Euborellia annulata) (Gambar 6). Laba-laba dari
famili Argiopidae, Oxyopidae, dan Theriidae dan semut Solenopsis germinata
memangsa larva muda hama penggerek (Hasse and Litsinger 1980).
Bakteri yang digunakan untuk mengendalikan spesies ini adalah Bacillus
thuringiensis subspecies Kurstaki. Nematoda dari famili Steinernematidae
juga efektif mengendalikan O. furnacalis (Ching et al. 1998).
Kultur Teknis/Pola Tanam
Serangan penggerek batang berfluktuasi dari waktu ke waktu. Waktu tanam
yang baik untuk menghindari serangan penggerek batang adalah pada awal
musim hujan, dan paling lambat empat minggu sejak mulai musim hujan.
Kultur teknis berupa tumpangsari jagung dengan kedelai atau kacang
tanah akan mengurangi tingkat serangan (Hasse and Litsinger 1980). Hasil
penelitian Nafus dan Schreiner, (1987) menunjukkan bahwa 40-70% larva
berada pada bunga jantan, sehingga pemotongan sebagian bunga jantan
(4 dari 6 baris) dapat menekan serangan penggerek batang.
Kimiawi
Penggunaan insektisida yang berbahan aktif monokrotofos, triazofos,
dikhlorofos, dan karbofuran efektif menekan serangan penggerek batang
Gambar 6. Cecopet mendekati pupa O. furnacalis.
Pabbage et al.: Pengelolaan Hama Prapanen Jagung 281
jagung (Ruhendi et al. 1985). Aplikasi insektisida dianjurkan apabila telah
ditemukan satu kelompok telur per 30 tanaman.
Insektisida cair atau semprotan hanya efektif pada fase telur dan larva
instrar I-III, sebelum larva masuk ke dalam batang. Pengendalian dengan
insektisida granul yang bersifat sistemik yang diaplikasikan melalui pucuk
daun atau akar dapat mengendalikan penggerek batang pada semua stadium.
PENGGEREK BATANG MERAH JAMBU
(Sesamia inferens Walker. Noctuidae: Lepidotera)
Bioekologi
Serangga ini merupakan hama tanaman jagung, padi, dan tebu di Asia
Tenggara, Cina, dan Jepang. Di Indonesia serangga ini dapat pula hidup
pada rumput dan teki seperti Andropogon, Eleusine, Panicum, Phraqmites,
Saccharum, dan Scripus. Penggerek batang merah jambu umumnya
ditemukan di daerah dengan musim kemarau yang jelas seperti Jawa Timur,
Sulawesi, dan Nusa Tenggara (Kalshoven 1981).
Hama ini memiliki tiga generasi per tahun jika berada pada daerah
subtropis, sedangkan pada daerah tropis mempunyai enam generasi. Telur
diletakkan secara berkelompok dalam barisan di pelapah daun (Gambar 7),
biasanya 3-8 baris. Telur generasi pertama terdiri atas 75-100 butir. Rata-rata
fekunditi betina adalah 250 telur. Seekor imago betina mampu meletakkan
telur 300-400 butir. Imago betina meletakkan beberapa generasi telur dalam
beberapa minggu. Untuk generasi kedua, serangga betina akan meletakkan
telur lebih banyak. Betina berkopulasi hanya sekali dengan masa inkubasi
6-10 hari atau rata-rata 7-8 hari pada daerah tropis (CPC 2001).
Larva terdiri atas enam atau tujuh instar dan adakalanya delapan instar
dengan stadium larva berkisar antara 28-56 hari atau rata-rata lima minggu
Gambar 7. Kelompok telur dalam barisan (a) dan larva S. inferens (b).
(a) (b)
282 Jagung: Teknik Produksi dan Pengembangan
di daerah tropik. Instar I adalah instar dengan masa perkembangan yang
lama, yaitu delapan hari dan instar II-V rata-rata 3-5 hari setiap instarnya,
sementara instar VI tujuh hari, dan instar VII rata-rata 13 hari (Rothschild
1971). Larva berwarna merah jambu.
Masa prapupa sekitar lima jam dan stadia pupa 8-11 hari (Gambar 8).
Proses keluarnya imago dari pupa berlangsung selama 25 menit. Sayap
akan tetap melipat selama 10 menit dan kemudian membuka secara
sempurna. Imago (Gambar 8) akan terbang secara sempurna empat hari
setelah keluar dari pupa. Jarak terbang yang bisa ditempuh oleh seekor
betina dan jantan masing-masing lebih dari 32 dan 50 km. Proses kawin dan
meletakkan telur dapat terjadi 24 jam setelah keluar dari pupa.
Gejala Serangan
Gejala serangan mirip dengan gejala serangan penggerek batang O.
furnacalis, terutama saat menyerang batang. Larva akan melubangi batang
dan menggoroknya ke bagian atas sehingga batang mudah patah.
Gambar 8. Pupa (a) dan imago S. inferens (b).
(a) (b)
Pabbage et al.: Pengelolaan Hama Prapanen Jagung 283
Pengendalian
Hayati
Platytelemonus sp. telah tercatat sebagai parasitoid telur S. inferens di
Sulawesi Selatan, sedangkan Braconidae dan Tetrastichus israeli merupakan
parasitoid larva dan pupa. Larva juga dapat diinfeksi oleh cendawan B.
bassiana dan nematoda Neoplectana carpocapsae (Kalshoven 1981).
Pola Tanam
Penanaman serempak dan pergiliran tanaman dengan bukan jagung, padi,
dan tebu dapat mengurangi serangan hama ini.
Mekanik
Pengambilan langsung dengan tangan dapat dilakukan jika biaya tenaga
kerja cukup murah. Dapat pula dilakukan roguing pada tanaman jagung
yang batangnya telah terserang.
Kimiawi
Larva menyerang terutama pada batang sehingga aplikasi insektisida
sebaiknya dilakukan sebelum larva masuk ke dalam batang, yaitu setelah
adanya kelompok telur di bagian bawah daun pada saat menjelang
berbunga. Insektisida yang dapat digunakan antara lain adalah yang
berbahan aktif monokrotofos.
PENGGEREK TONGKOL JAGUNG
(Helicoverpa armigera Hbn. Noctuidae: Lepidotera)
Bioekologi
Imago betina H. armigera meletakkan telur pada pucuk tanaman dan apabila
tongkol sudah mulai keluar maka telur diletakkan pada rambut jagung.
Imago betina mampu bertelur rata-rata 730 butir dengan masa oviposisi 10-
23 hari. Telur menetas dalam tempo tiga hari setelah diletakkan pada suhu
22,5oC dan dalam tempo sembilan hari pada suhu 17oC (Kalshoven 1981).
Larva terdiri atas 5-7 instar, tetapi umumnya enam instar dengan
pergantian kulit (moulting) setiap instar 2-4 hari (Gambar 9). Periode perkembangan
larva sangat bergantung pada suhu dan kualitas makanannya.
Khususnya pada jagung, masa perkembangan larva pada suhu 24-27,2oC
adalah 12,8-21,3 hari. Larva serangga ini bersifat kanibalisme sehingga
284 Jagung: Teknik Produksi dan Pengembangan
merupakan salah satu faktor yang menekan perkembangan populasinya
(CPC 2001).
Spesies ini mengalami masa prapupa selama 1-4 hari. Selama periode
ini, larva menjadi pendek dan lebih seragam warnanya dan kemudian
berganti kulit menjadi pupa. Masa prapupa dan pupa biasanya terjadi dalam
tanah dan kedalamannya bergantung pada kekerasan tanah. Pada
umumnya pupa terbentuk pada kedalaman 2,5-17,5 cm. Serangga ini
kadang-kadang berpupa pada permukaan tumpukan limbah tanaman atau
pada kotorannya yang terdapat pada tanaman.
Pada kondisi yang tidak memungkinkan seperti panjang hari 11-14 jam/
hari dan suhu yang rendah (15-23oC), H. armigera mengalami diapause
atau sering disebut diapause pupa fakultatif. Diapause pupa dapat
berlangsung beberapa bulan bahkan dapat lebih dari satu tahun. Pada
kondisi lingkungan yang mendukung, fase pupa bervariasi dari enam hari
pada suhu 35oC sampai 30 hari pada suhu 15oC.
Gejala Serangan
Imago betina akan meletakkan telur pada silk jagung dan sesaat setelah
menetas larva akan menginvasi masuk ke dalam tongkol dan akan memakan
biji yang sedang mengalami perkembangan (Gambar 9). Infestasi serangga
ini akan menurunkan kualitas dan kuantitas tongkol jagung.
(a) (b)
Gambar 9. Larva (a) dan imago H. armigera (b).
Pabbage et al.: Pengelolaan Hama Prapanen Jagung 285
Pengendalian
Hayati
Musuh alami yang digunakan sebagai pengendali hayati dan cukup efektif
untuk mengendalikan penggerek tongkol adalah Trichogramma spp. yang
merupakan parasitoid telur, di mana tingkat parasitasi pada hampir semua
tanaman inang H. armigera sangat bervariasi dengan angka maksimum
49% (Mustea 1999). Eriborus argentiopilosa (Ichneumonidae) juga
merupakan parasitoid pada larva muda. Dalam kondisi kelembaban yang
cukup, larva juga dapat diinfeksi oleh M.anisopliae.
Agen pengendali lain yang juga berpotensi untuk mengendalikan
serangga ini adalah bakteri B. bassiana dan virus Helicoverpa armigera
Nuclear Polyhedrosis Virus (HaNPV).
Kultur Teknis
Pengolahan tanah secara sempurna akan merusak pupa yang terbentuk
dalam tanah dan dapat mengurangi populasi H. armigera berikutnya.
Kimiawi
Agak sulit mencegah kerusakan oleh serangga ini karena larva segera masuk
ke tongkol sesudah menetas. Untuk mengendalikan larva H. armigera pada
jagung, penyemprotan harus dilakukan setelah terbentuknya silk dan
diteruskan (1-2 hari) hingga jambul berwarna coklat. Untuk itu dibutuhkan
biaya yang cukup cukup mahal (Baco dan Tandiabang 1998).
ULAT GRAYAK
(Spodoptera litura, Mythimna sp. Noctuidae: Lepidotera)
Bioekologi
Siklus hidup S. litura yang direaring pada beberapa jenis inang tersaji pada
Tablel 1. S. litura meletakkan telur secara berkelompok di permukaan daun
dan ditutupi oleh bulu-bulu yang berwarna coklat muda dan setiap
kelompok telur terdiri atas 50-400 butir (Gambar 10a).
Larva terdiri atas enam instar dan instar terakhir mempunyai bobot
mencapai 800 mg dan menghabiskan 80% dari total konsumsi makanannya
(Kalshoven 1981) (Gambar 10b). Larva bersembunyi dalam tanah pada
siang hari dan baru aktif pada malam hari, kecuali S. exempta yang juga
aktif pada siang hari.
286 Jagung: Teknik Produksi dan Pengembangan
Tabel 1. Komparasi siklus hidup S. litura pada beberapa tanaman inang.
Siklus hidup S. litura (hari)
Stadia Zapata 1970 Cadapan1985 Paris1968 Hidayat 2003
Bush sitao Jagung O k r a Petsai Ubi jalar Tomat Kacang tanah Jarak Jarak
Te l u r 3 , 5 3 , 5 3 , 5 3 , 5 3 , 5 3 , 5 3 , 6 3,24 3,33±0,58
Larva instar
Pertama 3 , 0 2 , 5 3 , 0 2 , 5 3 , 0 3 , 0 3 , 3 3,02 4,40±0,346
Kedua 2 , 0 2 , 0 2 , 5 2 , 0 2 , 5 2 , 5 3 , 3 2,09 3,34±0,17
Ketiga 2 , 0 2 , 0 2 , 5 2 , 0 2 , 0 2 , 0 3 , 2 2,11 2,53±0,05
Keempat 2 , 0 2 , 5 2 , 5 2 , 0 2 , 0 2 , 5 3 , 1 2,66 1,76±0,15
K e l i m a 2 , 0 2 , 5 2 , 5 1 , 5 2 , 5 2 , 0 4 , 2 2,36 1,31±0,36
Keenam 3 , 5 2 , 0 4 , 0 2 , 5 4 , 5 2 , 0 3 , 1 4,43 -
Ketujuh - 5 , 5 - - - 2 , 0 - - -
Total stadium larva 14,5 10,5 1 7 12,5 16,5 1 6 21,1 16,09 14,33±4,16
Fase pupa
Pre-pupa - - - - - - - - 1 , 0 0 ± 0
Pupa 10,5 11,5 10,0 10,5 10,5 10,5 9 , 5 9 8,5±1,73
Total perkembangan 28,5 33,5 30,5 25,5 30,5 29,0 37,7 28,96 27,00±6,24
Longeviti imago
Jantan - - - - - - - - 4,85±1,09
Betina - - - - - - - - 5,70±1,38
Total lama hidup (dari telur
hingga dewasa mati)
Jantan - - - - - - - - 30,67±8,14
Betina - - - - - - - - 31,67±8,33
Pabbage et al.: Pengelolaan Hama Prapanen Jagung 287
(a) (b) (c)
(d)
(e)
Gambar 10. Kelompok telur (a), larva (b), prapupa (c), pupa (d), dan imago S. Litura (e).
Pupa (Gambar 10d) terbentuk dalam tanah dengan masa pupasi 7-10
hari. Imago (Gambar 10e) betina kawin 3-4 kali selama hidupnya, sementara
jantan kawin mencapai 10 kali (Metcalf and Metcalf 1993). Perkembangan
telur hingga dewasa berkisar antara 29-31 hari.
S. litura merupakan serangga hama penting pada tanaman pertanian di
Asia Tenggara dan spesies ini juga terdistribusi luas ke seluruh Asia tropis
dan Asia subtropis, Australia, dan pulau-pulau di Pasifik (Kranz et al. 1977).
Spesies ini adalah serangga polipagous. Tanaman inangnya selain jagung
adalah tomat, kapas, tembakau, padi, kakao, jeruk, ubi jalar, kacang tanah,
jarak, kedelai, kentang, kubis, dan bunga matahari (Holloway 1989).
Bioekologi Mythimna sp.
Mythimna sp. merupakan hama polipagous dan menyerang banyak
tanaman, antara lain jagung, padi, sorgum, dan kacang-kacangan. Ada
beberapa spesies dari genus ini yang dapat merusak tanaman jagung antara
lain M. separata dan M. loreyi. Distribusi serangga ini mulai dari Eropa Selatan,
Prepupa
288 Jagung: Teknik Produksi dan Pengembangan
Afrika, India, Cina, Australia, dan Indonesia, serta negara-negara pasifik
sampai Amerika. Larva serangga dijumpai di Jawa hingga pada ketinggian
1.800 m dpl (Kalshoven 1981).
Ledakan populasi dapat terjadi secara tiba-tiba, tetapi cepat hilang. Sering
terjadi, ledakan populasi pada satu generasi diikuti oleh penurunan populasi
pada generasi selanjutnya.
Pengamatan menunjukkan bahwa ledakan populasi seiring dengan
adanya perubahan iklim, terutama periode kering diikuti curah hujan dan
kelembaban tinggi dan disertai oleh tersedianya makanan yang melimpah.
Ledakan populasi biasanya didahului oleh kondisi yang kurang menguntungkan
bagi perkembangan parasitoid dan predator.
Serangga meletakkan telur secara berkelompok pada daun dan ditutupi
dengan bulu-bulu yang berwarna coklat. Seekor M. separata betina mampu
meletakkan telur 500-900 butir. Masa inkubasi telur berkisar antara 2-13
hari, bergantung suhu, tetapi normalnya 3-4 hari pada suhu 25oC. Telur
yang baru diletakkan berwarna hijau keputih-putihan, kemudian berubah
menjadi kuning dan berwarna hitam sebelum menetas.
Larva instar I memakan cangkang telur. Stadia larva terdiri atas enam
instar dengan stadium 13-18 hari. Pada siang hari larva bersembunyi dalam
tanah dan aktif menyerang pada malam hari. Pola warna larva berbeda,
bergantung pada perilakunya. Pada kondisi gregarious larva berwarna gelap
dan aktif, sementara pada kondisi solitary berwarna lebih terang dan pasif
(Kalshoven 1981).
Pupa terbentuk dalam tanah dengan lama pupasi sekitar sembilan hari.
Serangga dewasa dapat kawin beberapa kali dan meletakkan telur selama
2-6 hari. Perkembangan dari telur sampai dewasa berkisar 30-39 hari
Gejala Serangan
Larva serangga ini memakan daun dengan bentuk yang tidak beraturan.
Dalam kondisi yang sangat lapar, larva memakan daun hingga menyisakan
tulang daun.
Pengendalian
Hayati
Ulat grayak diketahui memiliki banyak musuh alami. Sebanyak 131 spesies
musuh alami serangga ini telah dilaporkan dari berbagai tempat di dunia.
Pabbage et al.: Pengelolaan Hama Prapanen Jagung 289
Trichogramma spp. diketahui sebagai parasitoid telur. Selain itu, ordo
Hymenoptera dari famili Scelionidae dan Brachonidae juga merupakan
parasitoid telur. Chelonus dan Telenomus diketahui sebagai parasitoid telur,
larva, dan prapupa.
Nosema carpocapsae dapat menginfeksi larva ulat grayak. Aspergillus
flavus, B. bassina, Nomuarea rileyi, dan M. anisopliae adalah cendawan
yang efektif untuk mengendalikan larva serangga ini.
NPV (Nuclear Polyhedrosis Virus) adalah virus pengendali hayati yang
potensial digunakan untuk mengendalikan ulat grayak. Nematoda dari famili
Mermithidae dan Steinernematidae juga efektif mengendalikan spesies ini.
Bakteri B. thuringensis adalah salah satu agen pengendali yang mampu
memberikan mortalitas cukup tinggi pada ulat grayak.
Kultur Teknis
Ulat grayak membentuk pupa dalam tanah. Karena itu, pengolahan tanah
secara sempurna dan pembakaran sisa tanaman/gulma di permukaan lahan
dapat menurunkan populasi serangga pada pertanaman berikutnya.
Mekanik
Pengumpulan kelompok telur ulat grayak dengan tangan dan kemudian
membakarnya merupakan salah satu cara untuk menekan populasi hama
ini.
Kimiawi
Ledakan populasi ulat grayak yang terjadi secara tiba-tiba memerlukan
pengendalian yang cepat. Dengan memperhatikan tingkat serangan dan
kelestarian lingkungan, penggunaan insektisida dapat menekan populasi
secara cepat dengan tingkat mortalitas yang tinggi.
Direktorat Jenderal Perlindungan Tanaman Pangan (1984) menganjurkan
aplikasi insektisida jika sudah ditemukan dua ekor larva/m2. Insektisida
yang cukup efektif antara lain adalah monokrotofos, diazinon, khlorpirifos,
triazofos, dikhlorovos, sianofenfos, dan karbaril (Ruhendi et al. 1985).
290 Jagung: Teknik Produksi dan Pengembangan
LALAT BIBIT
(Atherigona sp., Ordo: Diptera)
Bioekologi
Atherigona sp. biasanya meletakkan telur pada pagi hari atau malam hari.
Telur-telur tersebut diletakkan secara tunggal di bawah daun, axil daun,
atau batang dekat permukaan tanah. Telur menetas pada malam hari minimal
33 jam atau maksimal empat hari setelah telur diletakkan. Telur spesies ini
berwarna putih dengan panjang 1,25 mm dan lebar 0,35 mm dan warnanya
berubah menjadi gelap sebelum menetas (CPC 2001).
Larva terdiri atas tiga instar dengan stadia larva 6-18 hari (Gambar 11a).
Larva spesies ini terdiri atas 12 ruas (satu ruas kepala, tiga ruas thorax, dan
delapan ruas abdomen). Panjang larva mencapai 9 mm, berwarna putih
krem pada awalnya dan selanjutnya menjadi kuning hingga kuning gelap.
Pupa terdapat pada pangkal batang dekat atau di bawah permukaan
tanah (Gambar 11b). Imago keluar dari pupa setelah 5-12 hari pada pagi
atau sore hari. Puparium berwarna coklat kemerahan sampai coklat dengan
panjang 4,1 mm. Segmentasi tidak dapat dibedakan.
Imago akan terbang satu jam setelah keluar dari pupa (Gambar 11c).
Kopulasi tidak terjadi pada beberapa hari setelah muncul dari pupa.
Serangga dewasa sangat aktif terbang dan sangat tertarik pada kecambah
atau tanaman yang baru tumbuh. Imago berukuran kecil dengan panjang
2,5-4,5 mm, caput agak lebar dengan antena panjang, thorax berambut,
abdomen berwarna kuning dengan spot hitam pada bagian dorsal.
Imago betina mulai meletakkan telur 3-5 hari setelah kawin dengan
jumlah telur 7-22 butir atau bahkan dapat mencapai 70 butir. Imago betina
meletakkan telur selama 3-7 hari.
Lama hidup serangga dewasa bervariasi antara 5-23 hari, masa hidup
betina dua kali lebih lama daripada jantan. Siklus hidup telur hingga menjadi
dewasa adalah 21-28 hari.
Gambar 11. Larva (a), pupa (b), imago Atherigona sp (c).
(a) (b) (c
Pabbage et al.: Pengelolaan Hama Prapanen Jagung 291
Terdapat beberapa variasi ekologi lalat bibit pada areal yang berbeda,
tetapi umumnya kelembaban yang tinggi sangat mendukung perkembangan
spesies ini. Jika kondisi sangat kering, telur akan gagal menetas atau larva
mati sebelum melakukan penetrasi batang. Penetasan dan aktivitas imago
terjadi selama kondisi dingin dalam satu hari.
Gejala Serangan
Larva yang baru menetas melubangi batang, kemudian membuat
terowongan hingga ke dasar batang sehingga tanaman menjadi kuning
dan akhirnya mati (Gambar 12). Jika tanaman mengalami recovery, maka
pertumbuhannya akan kerdil.
Pengendalian
Hayati
Parasitoid yang memarasit telur lalat bibit adalah Trichogramma spp. dan
parasitoid larva adalah Opius sp. dan Tetrastichus sp. Predator imago adalah
Clubiona japonicola.
Kultur Teknis dan Pola Tanam
Aktivitas lalat bibit hanya berlangsung selama 1-2 bulan pada musim hujan.
Karena itu, serangan dapat dihindari dengan mengubah waktu tanam.
Gambar 12. Gejala serangan lalat bibit.
292 Jagung: Teknik Produksi dan Pengembangan
Pergiliran tanaman dengan tanaman bukan padi dan jagung serta tanam
serempak dapat menekan serangan hama ini (Litsinger 1978).
Varietas Tahan
Balai Penelitian Tanaman Serealia sejak 2006 telah melakukan pengujian
terhadap ketahanan beberapa galur yang diharapkan dapat dilepas sebagai
varietas tahan lalat bibit.
Beberapa galur jagung QPM putih yang tahan terhadap lalat bibit adalah
MSQ-P1(S1)-C1-11, MSQ-P1(S1)-C1-12, MSQ-P1(S1)-C1-44, dan MSQ-P1(S1)-
C1-45 dengan tingkat serangan 0%. Galur jagung QPM kuning yang tahan
terhadap serangga hama ini adalah MSQ-K1(S1)-C1-16, MSQ-K1(S1)-C1-35,
MSQ-K1(S1)-C1-50 dengan tingkat serangan hanya mencapai 5% (Balitsereal
2006).
Kimiawi
Pengendalian dengan insektisida dapat dilakukan melalui perlakuan benih
(seed dressing), menggunakan thiodikarb dengan dosis 7,5-15 g b.a./kg benih
atau karbofuran dengan dosis 6 g b.a./kg benih. Setelah berumur 5-7 hari,
tanaman disemprot dengan karbosulfan dengan dosis 0,2 kg ba./ha atau
thiodikarb 0,75 kg ba/ha. Penggunaan insektisida hanya dianjurkan di daerah
endemik (Direktorat Jenderal Perlindungan Tanaman Pangan 1984).
BELALANG
(Locusta migratoria)
Bioekologi
Seekor betina mampu menghasilkan telur sekitar 270 butir. Telur berwarna
keputih-putihan dan berbentuk buah pisang, tersusun rapi sekitar 10 cm di
bawah permukaan tanah. Menurut BPOPT (2000), telur akan menetas
setelah 17 hari, sementara menurut Farrow (1990), telur akan menetas
antara 10-50 hari, bergantung temperatur.
Nimfa mengalami lima kali ganti kulit (lima instar). Instar I berwarna
hitam. Instar II berwarna kuning keputih-putihan. Instar III pada bagian
lateral dan venteral berwarna kuning dengan dorsal hitam, disertai bakal
sayap kecil mengarah ke bawah, Instar IV pada bagian lateral dan venteral
berwarna jingga dengan dorsal hitam dan bakal sayap mengarah ke atas.
Instar V berwarna jingga kemerah-merahan dengan dorsal hitam dan bakal
sayap memanjang sampai dengan ruas abdomen ke empat dan pangkalnya
berwarna jingga. Stadiaum nimfa berlangsung selama 38 hari.
Pabbage et al.: Pengelolaan Hama Prapanen Jagung 293
Imago betina yang berwarna coklat kekuningan siap meletakkan telur
setelah 5-20 hari, tergantung temperatur. Seekor betina mampu menghasilkan
6-7 kantong telur dalam tanah dengan jumlah telur 40 butir per
kantong. Imago betina hanya membutuhkan satu kali kawin untuk
meletakkan telur-telurnya dalam kantong-kantong tersebut. Imago jantan
yang berwarna kuning mengkilap berkembang lebih cepat dibandingkan
dengan betina. Lama hidup dewasa adalah 11 hari.
Siklus hidup rata-rata 76 hari, sehingga dalam setahun dapat menghasilkan
4-5 generasi di daerah tropis, terutama Asia Tenggara. Di daerah
subtropis, serangga ini hanya menghasilkan satu generasi per tahun. Belalang
kembara mengalami tiga fase pertumbuhan populasi yaitu fase soliter, fase
transien, dan fase gregaria. Pada fase soliter, belalang hidup sendiri-sendiri
dan tidak menimbulkan kerusakan bagi tanaman. Pada fase gregaria,
belalang kembara hidup bergerombol dalam kelompok-kelompok besar,
berpindah-pindah tempat dan merusak tanaman secara besar-besaran.
Perubahan fase dari soliter ke gregaria dan dari gregaria kembali ke soliter
dipengaruhi oleh iklim, melalui fase yang disebut transien.
Perubahan fase soliter ke gregaria biasanya dimulai pada awal musim
hujan setelah melewati musim kemarau yang cukup kering (di bawah
normal). Pada saat itu, biasanya terjadi peningkatan populasi belalang soliter
yang berdatangan dari berbagai lokasi ke suatu lokasi yang secara ekologis
sesuai untuk berkembang (Gambar 13). Lokasi tersebut biasanya berupa
lahan yang terbuka atau banyak ditumbuhi rumput, tanah gembur berpasir,
dan dekat sumber air (sungai, danau, rawa) sehingga kondisi tanah cukup
lembab. Setelah berlangsung 3-4 generasi, apabila kondisi lingkungan
(a) (b)
Gambar 13. Koloni imago belalang (a), dan koloni belalang yang sedang bermigrasi (b).
294 Jagung: Teknik Produksi dan Pengembangan
memungkinkan, fase soliter akan berkembang menjadi fase gregaria, melalui
fase transien. Lokasi ini dikenal sebagai lokasi pembiakan awal.
Perubahan fase gregaria kembali ke fase soliter biasanya terjadi apabila
keadaan lingkungan tidak menguntungkan bagi kehidupan belalang,
terutama karena pengaruh curah hujan, tekanan musuh alami dan atau
tindakan pengendalian oleh manusia. Perubahan ini juga melalui fase
transien.
Belalang kembara pada fase gregaria aktif terbang pada siang hari
berkumpul dalam kelompok-kelompok besar. Pada senja hari, kelompok
belalang hinggap pada suatu lokasi, biasanya untuk bertelur pada lahanlahan
kosong, berpasir, makan tanaman yang dihinggapi, dan kawin. Pada
pagi hari, kelompok belalang terbang untuk berputar-putar atau pindah
lokasi. Pertanaman yang dihinggapi pada malam hari biasanya dimakan
sampai habis. Kelompok besar nimfa (belalang muda) biasanya berpindah
tempat dengan berjalan secara berkelompok. Sepanjang perjalanannya juga
memakan tanaman yang dilewati.
Tanaman yang paling disukai belalang kembara adalah kelompok
Graminae yaitu padi, jagung, sorgum, tebu, alang-alang, gelagah, dan
berbagai jenis rumput. Selain itu, belalang juga menyukai daun kelapa,
bambu, kacang tanah, petsai, sawi, dan kubis daun. Tanaman yang tidak
disukai antara lain adalah kacang hijau, kedelai, kacang panjang, ubi kayu,
tomat, ubi jalar, dan kapas.
Gejala Serangan
Gejala serangan belalang tidak spesifik, bergantung pada tipe tanaman yang
diserang dan tingkat populasi. Daun biasanya bagian pertama yang diserang.
Hampir keseluruhan daun habis termasuk tulang daun, jika serangannya
parah. Spesies ini dapat pula memakan batang dan tongkol jagung jika
populasinya sangat tinggi dengan sumber makanan terbatas (Gambar 14).
Pengendalian
Hayati
Agens hayati M. anisopliae var. acridium, B. bassiana, Enthomophaga sp.,
dan Nosuma locustae di beberapa negara terbukti dapat digunakan pada
saat populasi belum meningkat.
Pabbage et al.: Pengelolaan Hama Prapanen Jagung 295
Pola Tanam
Di daerah pengembangan tanaman pangan yang menjadi ancaman hama
belalang kembara perlu dipertimbangkan pola tanam dengan tanaman
alternatif yang tidak atau kurang disukai belalang dengan sistem tumpang
sari atau diversifikasi.
Pada areal yang sudah terserang belalang dan musim tanam belum
terlambat, diupayakan segera penanaman kembali dengan tanaman yang
tidak disukai belalang seperti, kedelai, kacang hijau, ubi kayu, ubi jalar, kacang
panjang, tomat, atau tanaman yang kurang disukai belalang seperti kacang
tanah, petsai, kubis, dan sawi.
Mekanis
Melakukan gerakan masal sesuai stadia populasi:
Stadia telur. Untuk mengetahui lokasi telur maka dilakukan pemantauan
lokasi dan waktu hinggap kelompok belalang dewasa secara intensif. Pada
areal atau lokasi bekas serangan yang diketahui terdapat populasi telur,
dilakukan pengumpulan kelompok telur melalui pengolahan tanah sedalam
10 cm, kelompok telur diambil dan dimusnahkan, kemudian lahan segera
ditanami kembali dengan tanaman yang tidak disukai belalang.
Gambar 14. Gejala serangan belalang pada tanaman jagung.
296 Jagung: Teknik Produksi dan Pengembangan
Stadia nimfa. Setelah dua minggu sejak hinggapnya kelompok belalang
kembara mulai dilakukan pemantauan terhadap kemungkinan adanya
nimfa. Nimfa dikendalikan dengan cara memukul, menjaring, membakar
atau menggunakan perangkap lainnya. Menghalau nimfa ke suatu tempat
yang sudah disiapkan di tempat terbuka untuk kemudian dimatikan. Nimfa
yang sudah ada di tempat terbuka apabila memungkinkan juga dapat
dilakukan pembakaran namun harus hati-hati agar api tidak merembet ke
tempat lain. Pengendalian nimfa berperan penting dalam menekan
perkembangan belalang.
Kimiawi
Dalam keadaan populasi tinggi, perlu segera diupayakan penurunan
populasi. Apabila cara-cara lain sudah ditempuh tetapi populasi masih tetap
tinggi maka insektisida yang efektif dan diijinkan dapat diaplikasikan.
Penyemprotan dengan alat aplikasi ULV lebih baik karena lebih efisien.
Pengendalian yang tepat dilakukan sejak nimfa masih kecil karena belum
merusak, dan lebih peka terhadap insektisida. Penyemprotan dapat
dilakukan pada siang hari. Apabila terpaksa karena terlambat atau tidak
diketahui sebelumnya, pengendalian imago dapat dilaksanakan malam hari
pada saat belalang beristirahat ( hinggap pada senja hari dan terbang pagi
hari).
Jenis insektisida yang dapat digunakan untuk mengendalikan belalang
adalah jenis yang berbahan aktif organofosfat seperti fenitrothion.
KUTU DAUN
(Aphis maidis)
Bioekologi
Kutu daun membentuk koloni yang besar pada daun. Betina berproduksi
secara partenogenesis (tanpa kawin). Umumnya, stadia nimfa terdiri atas
empat instar (Kring 1985). Stadium nimfa terjadi selama 16 hari pada suhu
15oC, sembilan hari pada suhu 20oC, dan lima hari pada suhu 30oC.
Seekor betina (Gambar 15) yang tidak bersayap mampu melahirkan
rata-rata 68,2 ekor nimfa, sementara betina bersayap melahirkan 49 nimfa
(Adam and Drew 1964). Lama hidup imago adalah 4-12 hari (Ganguli and
Raychaudhuri 1980).
Ketiadaan fase telur di luar tubuh A. maidis betina karena proses
inkubasi dan penetasan terjadi dalam alat reproduksi betina dan diduga
telur tidak mampu bertahan pada semua kondisi lingkungan.
Pabbage et al.: Pengelolaan Hama Prapanen Jagung 297
Serangga ini lebih menyukai suhu yang hangat. Mau dan Kessing (1992)
melaporkan bahwa imago lebih aktif di lapangan pada suhu 17o dan 27oC.
Gejala Serangan
A. maidis dalam kelompok yang besar mengisap cairan daun dan batang,
akibatnya warna dan bentuk daun tidak normal yang pada akhirnya
tanaman mengering (Gambar 16).
Kutu daun ini menghasilkan honeydew yang dikeluarkan melalui
sersinya, sehingga membentuk embun jelaga berwarna hitam yang
menutupi daun sehingga menghalangi proses fotosintesis.
Pengendalian
Hayati
A. maidis dan Lysiphlebus mirzai (Famili: Braconidae) diketahui berpotensi
sebagai parasitoid hama ini (Mau and Kessing 1992, Tripathi and Singh 1995).
Coccinella sp. dan Micraspis sp. juga dapat dimanfaatkan sebagai predator.
Kultur Teknis
Trujillo and Altieri (1990) menyarankan penanaman jagung secara polikultur
karena akan meningkatkan predasi dari predator kutu daun dibandingkan
dengan penanaman secara monokultur.
Gambar 15. Imago betina A. maidis.
298 Jagung: Teknik Produksi dan Pengembangan
Kimiawi
Kutu daun mudah dikendalikan dengan menggunakan insektisida kontak
atau sistemik. Insektisida granular sering dipakai untuk mengendalikan hama
ini pada tanaman serealia. Insektisida seperti malathion lebih disenangi
karena lebih sedikit pengaruhnya terhadap populasi musuh alami (Ba
Angood and Stewart 1980).
Selain itu, dimethoate dan methyl dimeton juga efektif untuk mengendalikan
A. maidis pada jagung.
TIKUS
(Rattus argentiventer)
Bioekologi
Tanaman jagung yang diserang tikus biasanya ditanam pada lahan sawah
setelah padi. Tikus tersebut adalah dari spesies Rattus argentiventer.
Tikus memiliki kemampuan indera yang sangat menunjang setiap
aktivitas kehidupannya. Di antara kelima organ inderanya, hanya penglihatan
yang kurang baik, namun kekurangan ini ditutupi oleh indera lainnya yang
berfungsi dengan baik.
Tikus mempunyai kepekaan yang tinggi terhadap cahaya. Meski indera
penglihatannya kurang berfungsi dengan baik, tikus mampu mengenali
benda di depannya pada jarak 10 m (Rochman 1992).
Gambar 16. Gejala serangan A. maidis pada tanaman jagung.
Pabbage et al.: Pengelolaan Hama Prapanen Jagung 299
Indera penciuman tikus berfungsi dengan baik. Hal ini ditunjukkan oleh
aktivitas tikus menggerak-gerakkan kepala dan mengendus pada saat
mencium bau pakan, tikus lain, dan musuhnya.
Indera pendengarannya juga berfungsi dengan sempurna karena
mampu mendengar suara pada frekwensi audibel (40 kHz), dan frekwensi
ultrasonik (100 kHz).
Dengan indera perasa, tikus mampu mendeteksi zat yang pahit, beracun,
atau tidak enak. Bulu-bulu pendek dan panjang yang tumbuh di antara
rambut pada bagian tepi tubuhnya dimanfaatkan sebagai indera peraba
untuk membantu pergerakan di tengah kegelapan (Rochman 1992).
Selain indera tersebut, tikus juga mempunyai beberapa kemampuan
lain yaitu kemampuan menggali, memanjat, meloncat, mengerat, berenang,
dan menyelam.
Tikus mempunyai kemampuan reproduksi yang tinggi. Hal ini ditunjang
oleh beberapa faktor, antara lain: matang seksual cepat (2-3 bulan), masa
bunting singkat (21-23 hari), timbulnya birahi cepat (24-48 jam setelah
melahirkan), melahirkan sepanjang tahun tanpa mengenal musim, dan
melahirkan keturunan dalam jumlah banyak (3-12 ekor dengan rata-rata
enam ekor per kelahiran).
Tikus termasuk pemakan menyukai hampir semua makanan yang
dimakan manusia. Dalam kondisi cukup makanan, tikus beraktivitas sejauh
rata-rata 30 m dan tidak pernah lebih dari 200 m. Jika kondisi tidak
menguntungkan, jarak tempuh tikus dapat mencapai 700 m atau lebih.
Populasi tikus dipengaruhi oleh faktor lingkungan, baik biotik maupun
abiotik. Faktor abiotik yang sangat berpengaruh terhadap dinamika populasi
tikus adalah air dan sarang, sementara faktor biotik adalah tanaman dan
hewan kecil sebagai sumber pakan, patogen, predator, tikus lain sebagai
pesaing, dan manusia.
Gejala Serangan
Tikus biasanya menyerang tanaman jagung pada fase generatif atau fase
pengisian tongkol. Tongkol yang sedang matang susu dimakan oleh tikus
sehingga tongkol menjadi rusak. Umumnya tikus makan biji pada tongkol
mulai dari ujung tongkol sampai pertengahan tongkol.
300 Jagung: Teknik Produksi dan Pengembangan
Pengendalian
Hayati
Tikus dapat dikendalikan dengan memanfaatkan predator berupa kucing,
anjing, ular, burung elang, dan burung hantu. Penggunaan patogen sebagai
agen pengendali tidak dianjurkan karena berdampak negatif terhadap
manusia.
Sanitasi
Pembersihan dan penyempitan pematang atau tanggul dapat dilakukan
untuk membatasi tikus membuat sarang. Untuk itu pematang atau tanggul
dibuat dengan lebar kurang dari 40 cm.
Mekanik
Pemagaran pertanaman dengan plastik, pemasangan bubu perangkap,
atau gropyokan merupakan tindakan pengendalian mekanik yang dapat
dilaksanakan untuk mengurangi populasi tikus.
Penggunaan bambu berukuran 2 m yang pada salah satu bukunya dilubangi,
kemudian diletakkan di pinggir pematang saat terbentuknya tongkol
sampai panen, dapat menipu tikus yang diduga sebagai lubang alamiah.
Tikus yang terperangkap pada bambu tersebut dapat dengan mudah
ditangkap dan dibunuh (Tandiabang et al. 1995).
Pengusiran tikus dapat pula dilakukan dengan cara menghasilkan bunyibunyian
yang sangat ramai secara bersamaan, misalnya dengan memukul
alat-alat dari logam. Tetapi tindakan ini bersifat sementara karena setelah
itu tikus akan kembali lagi ke pertanaman.
Pemasangan perangkap hidup, perangkap mati, perangkap berperekat,
dan perangkap jatuhan juga dapat dimanfaatkan untuk menekan populasi
tikus.
Kimiawi
Rodentisida yang biasa digunakan untuk mengendalikan tikus adalah dalam
bentuk RMB (ready mix bait) dan RMD (ready mix dust), keduanya dipakai
sebagai umpan beracun. RMB yang banyak dipasarkan adalah Klerat, Storm,
dan Ramortal. RMD belum beredar di pasaran karena efektivitasnya masih
rendah.
Emposan dengan menggunakan bahan fumigasi efektif menurunkan
populasi tikus. Jenis bahan fumigasi yang biasa dipakai adalah hidrogen
Pabbage et al.: Pengelolaan Hama Prapanen Jagung 301
sianida, karbon monoksida, hidrogen fosfida, karbon dioksida, sulfur
dioksida, dan metil bromida.
PENUTUP
Pemerintah dan masyarakat berupaya meningkatkan produksi jagung untuk
mewujudkan swasembada pada tahun 2007, sebagaimana dicanangkan
Pemerintah. Pengalaman pada tahun-tahun sebelumnya menunjukkan
bahwa upaya peningkatan produksi jagung dihadapkan kepada berbagai
kendala, antara lain serangan hama.
Dengan tersedianya informasi tentang bioekologi, gejala serangan, dan
teknologi pengendaliannya, serangan hama pada tanaman jagung
diharapkan dapat dikendalikan dengan baik, sehingga swasembada jagung
dapat diwujudkan.
DAFTAR PUSTAKA
Adams, J.B. and M.E. Drew. 1964. Grain aphids in Brunswick. II. Comparative
development in the greenhouse of three aphid species on four kinds
of grasses. Canadian Journal of Zoology, 42:741-744.

Ba Angood, S.A. and R.K. Stewart. 1980. Effect of granular and foliar
insecticides on cereal aphids (Hemiptera) and their natural enemies
on field barley in southwestern Quebec. Canadian Entomologist,
112:1309-1313.

Baco, D. dan J. Tandiabang. 1998. Hama utama jagung dan pengendaliannya.
Dalam: Buku Jagung. Balai Penelitian Tanaman Pangan. Maros.

Baco, D. dan M. Yasin. 2001. Pengendalian penggerek jagung (O. furnacalis)
dengan predator dan patogen. Laporan Tahunan Penelitian Hama
dan Penyakit, Balitjas, Maros.

Balai Penelitian Tanaman Serealia. 2006. Laporan Tahunan RPTP.

Bato, S.M., T.R. Evert, and O.O. Malijan. 1983. Integrated pest management
for Asia corn borer control. National Crop Protection Center. No. 9.
UP.

Biro Perencanaan Departemen Pertanian. 2006. Kebijakan pembangunan
pertanian dan manajemen penganggaran berbasis kinerja.

Disampaikan pada Pelatihan penyegaran program Litbang Pertanian
(Reentry) bagi Purna Tugas Belajar. Ciawi 11-15 Desember 2006.
302 Jagung: Teknik Produksi dan Pengembangan

Bio Pengendalian OPT. 2000. Belalang Kembara (Locusa migratoria).
www.deptan.co.id.

Crop Protection Compendium. 2001. CABI

Chillar, B. and A.N. Verma. 1982. Yield losses caused by the aphid, Rhopalosiphum
maidis (Fitch.) in different varieties/strains of barley crop.

Haryana Agricultural University Journal of Research, 12(2):298-300.

Ching, C.C., Li Tang, and R.F. Hou. 1998. Efficacy of The Entomopathogenic
Nematode, Steinernema carpocapsae (Rhabditid: Steinernematidae),
Agents The Asian Corn Borer, Ostrinia furnacalis (Lepidoptera:
Pyralidae). Chinese J. Entomology 18: 51-60

Direktorat Jenderal Perlindungan Tanaman Pangan. 1984. Rekomendasi
pengendalian jasad pengganggu tanaman di Indonesia. Direktorat
Jenderal Tanaman Pangan, Jakarta.

Farrow R.A. 1990. Flight and migration in Acridoids. In: Chapman and Joern.
(Eds.) Biology of Grasshoppers. Chichester, UK: John Wiley & Sons,
227-314.

Ganguli, R.N. and D.N. Raychaudhuri. 1980. Studies on Rhopalosiphum maidis
Fitch (Aphididae: Homoptera)-a formidable pest of Zea mays (maize),
in Tripura. Science and Culture, 46(7):259-261.

Hasse, V. and J.A. Litsinger. 1980. Studies on environmental factors
responsible for the reduction of the Asian Corn Borer Ostrinia
furnacalis Guenee, in intercropped corn fields. Paper presented at
the 11th National Conference of The Philippines 23-26 April 1980.
Cebu City.

Holloway, J.D. 1989. The moths of Borneo: family Noctuidae, trifine
subfamilies: Noctuinae, Heliothinae, Hadeninae, Acronictinae,
Amphipyrinae, Agaristinae. Malayan Nature Journal, 42(2-3):57-228.

Kalshoven, L.G.E. 1981. Pests of Crops in Indonesia. PT. Ichtiar Baru-Van
Hoeve. Jakarta.701 p.

Kranz, J., H. Schumutterer, and W. Koch (Eds.) 1977. Diseases, Pests, and
Weeds in Tropical Crops. Berlin and Hamburg, Germany: Verlag Paul
Parley

Kring, T.J. 1985. Key and diagnosis of the instars of the corn leaf aphid
Rhopalosiphum maidis (Fitch). Southwestern Entomologist,
10(4):289-293.

Lee, Y.B., C.Y. Hwang, K.M. Choi, and J.Y. Shim. 1980. Studies on the bionomics
of the oriental corn borer Ostrinia furnacalis (Guenee). Korean
Journal of Plant Protection, 19(4):187-192.

Pabbage et al.: Pengelolaan Hama Prapanen Jagung 303

Legacion, D.M. and B.P. Gabriel. 1988. Note: oviposition of Asiatic corn borer
moths on corn plants. Philippine Agriculturist, 71(3):375-378.

Litsinger, J.A. 1978. Insect Pest of Maize and Shorgum. IRRI. Los BaƱos. The
Philippines.

Mau, R.F.L. and J.L.M. Kessing. 1992. Rhopalosiphum maidis (Fitch). Honolulu,
Hawaii: Hawaii Entomology Extension Service. http://www.extento.
hawaii.edu/.

Metcalf, R.L. and R.A. Metcalf. 1993. Destructive and Useful Insects, Their
Habits, and Ttheir Control. Fifth Edition. Mc Grow-Hill, Inc.

Mustea, D. 1999. The main pests of maize crops in central Transylvania
(Principalii daunatori ai culturii porumbului in centrul Transilvaniei).
Contributii ale cercetarii stintifice la dezvoltarea agriculturii, 6:205-
213.

Mutuura, A. and E. Munroe. 1970. Taxonomy and distribution of the European
corn borer and allied species: genus Ostrinia (Lepidoptera:Pyralidae).
Memoirs of the Entomological Society of Canada No.71, 112 pp.

Nafus, D.M. and I.H. Schreiner. 1987. Location of Ostrinia furnacalis Gueene.
Eggs and larvae on sweet corn in relation to plant growth. Journal of
econ. entomol. 84(2): 411-416.

Nonci, N, J. Tandiabang, D. Baco, dan A. Muis. 1998. Inventarisasi musuh
alami penggerek batang (O. furnacalis) pada sentra produksi jagung
di Sulawesi Selatan. Laporan Tahunan Penelitian Hama dan Penyakit,
Balitjas, Maros 1999.

Pabbage, M.S., N. Nonci, dan D. Baco. 1999. Efektifitas Trichogramma
evanescens pada berbagai umur telur penggerek batang jagung O.
rurnacalis. Laporan Tahunan Penelitian Hama dan Penyakit, Balitjas,
Maros 2000.

Philippine-German Crop Protection Programme (PGCPP). 1987. Integrated
Pest Management. Corn. Bureau of Plant Industry, Department of
Agriculture. San Andres, Malate, Manila. Philippines.

Ruhendi, A. Iqbal, dan D. Soekarna. 1985. Hama Jagung di Indonesia. Dalam:
Hasil Penelitian Jagung, Sorgum dan Terigu 1980-1984. Risalah Rapat
Teknis Puslitbangtan Bogor, 28-29 Maret 1985. p. 99-113.

Rochman. 1992. Biologi dan ekologi tikus, sebagai dasar pengendalian tikus,
Prosiding Seminar Pengendalian Hama Tikus Terpadu. p. 17-30. Bogor.
Roe, A.H. 2000. Grasshoppers and their Control. Extension Entomology.
Department of Biology. UT. p. 1-5.
304 Jagung: Teknik Produksi dan Pengembangan

Rothschild, G.H.L. 1971. The biology and ecology of rice stem borers in
Sarawak (Malaysian Borneo). Journal of Applied Ecology, 8:287-322.
Subandi, I. Manwan, and A. Blumenschein. 1988. National coordinated
research program on corn. Central Research Institute for food crops.
Agency for Agricultural Research and Development.

Swastika, K.S. Dewa, F. Kasim, W. Sudana, R. Hendayani, K. Suhariyanto, V.
Gerpacio, and P.L. Pingali. 2004. Maize in Indonesia, Production
Systems, Constraints, and Research Priorities . CIMMYT.

Tandiabang, J., Koesnang, S. Sama, dan D. Baco. 1995. Pengendalian tikus
pada ekosistem sawah irigasi. Hasil-hasil Penelitian Hama dan Penyakit
Tanaman Balittan Maros.

Tripathi, R.N. and R. Singh. 1995. Host specificity and seasonal distribution of
Lysiphlebia mirzai Shuja-Uddin (Hymenoptera: Braconidae). Biological
Agriculture and Horticulture, 12:283-294.

Trujillo, A.J. and M.A. Altieri. 1990. A comparison of aphidophagous
arthropods on maize polycultures and monocultures, in Central
Mexico. Agriculture, Ecosystems & Environment, 31(4):337-349; 31.

US. Department of Agriculture (USDA). 2005. World corn production,
consumption and stocks local marketing years. www.ars.usda.gov.
Maret, 2005.

Waterhouse, D.F. 1993. The major arthropod pests and weeds of agriculture
in Southeast Asia. The major arthropod pests and weeds of agriculture
in Southeast Asia., v + 141 p.; [ACIAR Monograph No. 21]; 3 p. of ref.
Wiseman, B.R., N.W. Wulstrom, and W.W. Mc. Millian. 1984. Increased
seasonal losses in field corn to corn earworm. J. Ca. Entomol Soc, 19,
41-43.